Sumber: Kata pengantar untuk buku karya Rehan Sapto Rosada, Agama Rastafarian: Tuhan, Ganja, Rambut Gimbal dan Perlawanan (Yogyakarta: Komunitas Kembang Merak, 2012), hlm. v – viii.
KATA PENGANTAR
Agama Rastafarian, Eksis tanpa Kepatuhan
ROBBY H. ABROR
Bagi peradaban sebuah bangsa, perbudakan adalah pelecehan yang menyakitkan sama halnya dengan rasialisme yang diumbar dalam segala bentuknya yang penuh penyakit. Barat, dalam hal ini Eropa, menyumbang penyakit kronis yang mengejar dalam langkah membangun peradabannya, yaitu penjajahan dan perbudakan.
Eropa menebar teror, menjajah dan memperbudak. Tidak hanya itu, Eropa juga merampok kebebasan hak asasi manusia orang-orang Afrika. Bentuk kolonialisme klasik yang memabukkan negeri-negeri penjajah seperti Inggris, Perancis, Italia, Spanyol, Jerman, Belgia, Belanda dan Portugal untuk membagi kue Afrika dalam perampokan kemanusiaan dan kealaman yang paling mengerikan. Negeri-negeri penjajah hanya memikirkan perut egoisme mereka dalam upaya memperkaya Eropa. Sungguh representasi peradaban maju yang memalukan.
Ethiopia dan Jamaika seolah diselimuti mendung gelap diskriminasi yang dilakukan dengan kuasa brutal oleh orang-orang kulit putih. Kulit putih telah menghitamkan Afrika lebih gelap lagi dengan tindakan kesewenang-wenangan mereka. Rakyat Benua Afrika dipaksa berkorban demi peradaban para penjajah, dieksploitasi sebagai buruh kasar dengan penuh penderitaan. Tampaknya Eropa lebih senang membiarkan Afrika menderita lebih lama lagi.
Melihat realitas penjajahan itu, Marcus Mosiah Garvey sontak bergerak melawan patuh. Kebiadaban Eropa tidak dapat dibiarkan. Bagi pendeta Jamaika itu, lebih baik mengembalikan eksistensi Afrika untuk peradaban rakyat Afrika. Dalam komitmennya yang khas, ia tegaskan bahwa “Afrika untuk bangsa Afrika!” Afrika harus dibangunkan dari lelap historisnya. Kesadaran historis orang-orang Afrika sangat bermakna bagi masa depannya kelak.
Pada gilirannya, ajarannya berubah menjadi kekuatan yang berdaya mengubah. Ajarannya menjelma menjadi keyakinan baru, sebuah agama baru bagi orang-orang kulit hitam di Jamaika yang kelak akan dikenal orang sebagai Rastafaria. Penjelmaan agama baru ini bukan tanpa sebab, wajah getir penuh luka dan hidup penuh penderitaan adalah bukti nyata bahwa sudah saatnya dibutuhkan keberanian historis untuk menjadikan agama itu sebagai spirit pengubah nasib rakyat Afrika.
Rakyat Afrika harus berani mengambil sikap, melawan kepatuhan terhadap orang-orang kulit putih Eropa. Orang-orang kulit hitam menolak patuh pada penjajahan dan bergabung dalam keyakinan barunya Rastafaria. Pada saatnya Rastafarian yakin bahwa menuhankan seorang Haile Selassie I adalah keniscayaan. Berdasarkan sejarah, Haile sebelum menjadi kaisar bernama Ras Tafari, sebuah nama yang kelak akan mengorbitkan gerakan Rastafarian mendunia. Meskipun pada faktanya, Ras Tafari emoh menjadi Tuhan, ia tetap dituhankan oleh Kaum Rastafarian.
Rastafarian mengajarkan pentingnya eksodus bersama-sama balik ke Afrika, kampung halaman tercinta. Mereka harus mempertahankan harga diri orang-orang kulit hitam melawan dominasi dan hegemoni orang-orang kulit putih. Kekecewaan dan penderitaan yang begitu lama telah menyebabkan budak-budak Ethiopia untuk bergabung meneguhkan keyakinan mereka dalam sebuah agama baru, agama Rastafarian yang mereka yakini akan dapat mengubah mimpi buruk mereka selama ini. Sebuah keyakinan baru yang pernah diakui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1996. Agama Rastafarian telah memberikan semangat baru bagi pergerakan kaum Rastafarian untuk menolak patuh, melawan diskriminasi ras dan segala bentuk praktik perbudakan yang telah lama mereka alami.
Kaum Rastafarian juga mendapatkan semangat baru dengan kehadiran Bob Marley yang menyatakan bangga menjadi Rastafari. Bob Marley, seseorang yang terkenal karena telah mempopulerkan musik reggae, juga menolak patuh pada Gereja. Baginya, kapitalisme dan komunisme sudah selesai, kini saatnya untuk Rastafarian. Lebih jauh, ia menolak patuh pada Vatikan, pusat Katolik yang menurutnya wajib untuk dimusuhi dan dilawan. Rastafarian dengan demikian menjadi agama dalam perkembangan orang- orang kulit hitam di Jamaika. Keyakinan baru yang bergerak melalui imigrasi di dunia. Baginya lagi, “hidup itu harus dekat dengan alam”. Kaum Rastafarian sangat identik dengan rambut gimbal, ganja (marijuana) dan makanan ital. Mereka memperkukuh keyakinan barunya itu dengan identitas kaum tertindas yang khas. Agama barunya itu menjadi tempat bagi pelarian dan perlindungan. Bob Marley juga membenci Kristen dan menyerukan semua orang untuk melakukan hal yang sama. Baginya, Kristen adalah agama yang gemar memperbudak dan membiarkan praktik-praktik perbudaan. Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa Roma harus menjadi musuh bagi semua orang.
Bagi kaum Rastafarian, musik reggae melambangkan semangat anti kolonialisme, juga merupakan alat politik untuk menyiarkan ajaran dan pengaruh mereka serta memperluas kebiasaan menghisap ganja dan rambut gimbal sebagai gaya hidup. Mereka kelak juga akan terbagi dalam keyakinan yang terbelah, tetap menuhankan Haile Selassie I atau tidak.
Seperti sebuah olok-olok terhadap agama tertentu, kaum Rastafarian biasa menghisap ganja sambil membaca Injil. Kebiasaan baru mereka dalam Gereja. Cara tersebut mereka tempuh untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Ganja adalah representasi bagi ramuan kebijaksanaan. Mereka juga mengharamkan diri mereka untuk menyisir rambut mereka dan memilih untuk tidak memotong rambut agar terbentuk rambut gimbal (dreadlocks) yang menjadi ciri khas mereka. Tidak hanya itu, mereka juga haram meminum minuman keras/alkohol dan dilarang makan babi. Mereka sepakat bahwa makanan itu harus ital, yakni bersih, murni dan alami.
Dalam konteks antropologis, sangat memungkinkan tesis Geertz bahwa agama sebagai fakta kultural, bagian dari sistem kebudayaan. Meskipun kelak akan diperdebatkan eksistensi dan keabsahan agama Rastafarian itu. Karena sepintas dapat digambarkan bahwa Rastafarian = Kristen + Yahudi, terbentuk dalam keyakinan baru yang reduksionistik dan lebih sederhana. Kaum Rastafarian dekat dengan alam yang menjadi keyakinan dan budaya khas Afrika, seolah menegaskan eksistensinya untuk membenci modernitas yang khas Eropa.
Pada kenyataannya, agama baru kaum Rastafarian itu dianggap skeptis, meskipun mengusung spirit pembebasan. Tak lain karena agama itu hanyalah sebentuk sinkretisme belaka antara keyakinan Kristen dengan Yahudi. Lagi pula mereka tidak mempunyai wahyu otentik atau kitab suci sendiri sebagai pegangan hidup. Sebaliknya mereka tetap membaca Injil James dan tidak dapat mengelak dari tuduhan sebagai hanya sebuah sekte saja bagi Kristen. Mereka menolak Kristen, tetapi diam-diam sembahyang di Gereja dengan caranya yang baru.
Gerakan Rastafarian sebenarnya hanya ingin menolak patuh pada Eropa. Kepada benua yang selama ini menindas mereka, memperbudak orang- orang kulit hitam. Bagi kaum Rastafarian, orang-orang kulit putih tidak dapat dimaafkan selama menghisap manusia-manusia Afrika beserta alamnya demi memperkaya Eropa. Kristen yang terkenal dengan agama cinta kasih, bagi kaum Rastafarian, sebutan itu hanyalah topeng belaka untuk menjustifikasi penjajahan terhadap Afrika.
Akhirnya, selamat menikmati buku yang ditulis oleh Rehan Sapto Rosada ini yang telah mencoba memperkenalkan gerakan Rastafarian dengan melibatkan tilikan filsafat, budaya dan agama yang cukup kritis, menarik, dan mencerahkan. Selamat membaca!
RHA
Yogyakarta, 12 Agustus 2011